Lepas Bersamaku
Hari Sabtu di Kota Tangerang cukup terik hari ini, masih banyak kendaraan yang berlalu-lalang di ruas jalan. Di dalam mobil kecilnya, Nina mengetuk setir mobilnya dengan jari telunjuknya mengikuti irama lagu yang diputar di radio. Hari ini adalah hari pertamanya mengikuti kursus hairdresser yang sudah ia dambakan sejak dulu.
Usaha kedua memasuki perumahan Nino berjalan jauh lebih mulus dari yang pertama, yang sempat membuat Nina ditahan di pos satpam sekitar 10 menit. Sebenarnya setelah kembali dari Rapat Internal 1 hari itu, Nina baru saja mengetahui bahwa perumahan Nino memang sebuah kompleks perumahan yang disediakan negara bagi orang-orang yang juga penting untuk negara. Meskipun memang tak sepenuhnya, tapi mayoritas dari realita yang ada begitu.
Sesampainya di depan rumah Nino, Nina mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Nino agar bisa membukakan pagar rumahnya yang sangat menjulang tinggi. Setelah menunggu sekitar 3 menit bukannya Nino yang keluar dari pintu rumah dengan manis seperti yang Nina bayangkan, lelaki itu malah muncul dari balkon kamar seperti tergesa-gesa.
“NINA! GUE LAGI MAIN GAME GAK BISA DITINGGAL, NANTI RANKINGNYA TURUN! BUKA AJA ITU PAGERNYA, GESER KE KANAN. KAK ISA UDAH DI LANTAI 3. SORRY, NIN!” Teriak Nino dari balkon kamarnya dengan terburu-buru masuk ke kamarnya lagi.
“Lah, Kak! Eh, jangan- Ya Tuhan Markiano,” Nina menghela napasnya panjang dan memcoba membuka pagar dengan sangat berhati-hati.
Berhasil masuk dari pagar yang menjulang tinggi, sekarang ia dihadapkan dengan pintu rumah yang tak kalah besar juga. Tangannya sudah menggenggam gagang pintu yang ada, namun ia masih tidak berani untuk membukanya.
Nina mengambil langkah mundur dan mencoba untuk berada di posisinya yang sekiranya jika dia akan berteriak Nino bisa mendengarnya.
“KAK NINO! INI PINTUNYA GI-”
Suaranya terhenti saat ia melihat wanita paruh baya keluar dari pintu tersebut, terlihat sangat anggun meski hanya dibalut busana sederhana.
“Nina? Maaf ya, Nina. Nino emang suka semaunya sendiri. Kamu kan yang mau kursus sama Isa? Masuk aja. Oh iya lupa, saya Arlita, ibunya Nino.”
“Eh.. Oh, iya tante. Gak papa kok.” Jawab Nina dengan lembut. Ia masih sedikit tertegun dengan kemunculan Arlita di depannya. ia tak pernah terbayang akan bertemu dengan Ibu Nino seperti ini.
Melangkah masuk ke rumah Nino yang dibalut nuansa putih dengan tema eropa juga sempat membuat Nina menelan ludah. Terlebih lagi saat terlihat dengan jelas foto keluarga yang terpajang di ruang tamu. Di foto itu Nino mengenakan setelan jas hitam berpadu dengan dasi kupu-kupu yang membuatnya terlihat sangat menawan.
“Nin, Isa ada di lantai 3. Kamu langsung naik aja, nanti kalau ada butuh sesuatu, langsung minta Nino atau tante aja ya.” Jelas wanita itu sambil bersamaan dengan Nina menuju tangga yang ada tepat di sebelah kanan pintu masuk.
Sesampainya di lantai 2, Nina dan Arlita berpisah. Arlita menuju kamar Nino yang bernuansa biru dan dipenuhi dengan action figure Spiderman.
“Ko, kamu tuh ya! Cewekmu lho itu baru dateng, bukannya dibukain, malah main game. Gak mau nanti dia sama kamu. Jangan gitu lain kali!” Suara yang cukup kencang itu terdengar oleh Nina yang sudah setengah jalan menaiki anak tangga untuk ke lantai 3 dan Nina sedikit tertawa kecil
“Kak, aku mau balik ke mobil dulu kayaknya. Ada yang ketinggalan. Sekalian ini temen Kak Nino barusan chat minta dibukain pintu.” Izin Nina kepada Isa setelah 30 menit kursus berjalan, yang sebenarnya lebih ke acara sharing. Isa hanya membalas dengan anggukan dan senyuman manis.
Nina menuruni tangga dan sampai di lantai 2, masih terlihat Nino yang sangat fokus memainkan gamenya. Hanya teriakan random yang terdengar, seperti “Dude! I got you! I got you!” “Where the hell are you?” “WAIT! I GOT A GRENADE!”. Berulang kali Nino loncat dari kursi gamenya. Untuk pertama kalinya Nina melihat Nino seaktif itu.
Saat membuka pintu rumah Nino yang menuju langsung ke pagar, terlihat Jule dan Hadya yang sudah berdecak pinggang dengan muka masam.
“Akhirnya, Nin! Lu keluar juga.” Kata Jule sambil memegang pagar Nino dengan kedua tangan.
“Kok gak masuk kak?” Tanya Nina dengan bingung yang hanya dibalas dengan arahan dari Jule agar Nina dapat membantu membuka pagar tersebut dari dalam.
“Jul, bilang Nino dulu kita udah dibukain pintu sama Nina.” Kata Hadya sembari mengunci mobilnya.
Tak lama setelah pesan itu terkirim, Nino kembali muncul di balkon kamarnya dengan muka penuh sumpah serapah.
“JULE LU ANJING UDAH GUE BI-” Kata-kata Nino terhenti ia melihat Nina yang sudah berdiri di samping Jule dan Hadya. Ia menghela napasnya dan mencoba berdamai dengan keadaan.
“Tuh, Kis. Dia sama Nina jadi pudding.”
“Tai, kok bisa gitu tu orang?”
Mendengar percakapan Jule dan Hadya, Nina hanya bisa menggelengkan kepalanya dan menuju ke mobil untuk mengambil barang yang tertinggal tadi.
Selama kursus berlangsung, sebenarnya Nina dan Isa jauh dari kata fokus. Teriakan 3 laki-laki dari lantai 2 yang sedang bermain monopoli sangat membuat Isa harus beberapa kali harus menjeda penjelasannya tentang dasar-dasar hairdresser kepada Nina.
“JULE! DADU LU CUMAN 11 KOK NGOCOK LAGI?”
“DEMI ALLAH NINO MISKIN BANGET! HAHAHAHA!”
“KIS HOTEL GUE JANGAN DIROBOHIN ANJIR!”
“NINO DENDA LAGI. YA ALLAH AKHIRNYA KATA UTANG SAMA MARKIANO BISA ADA DI SATU KALIMAT. MARKIANO NGUTANG DI BANK!”
Teriakan-teriakan itu yang kerap terdengar dari lantai 2. Isa dan Nina hanya bisa tertawa jika mereka mendengar kalimat-kalimat aneh yang terucap dari mulut trio yang sedang heboh itu. Hari demi hari, Nina menjadi lebih sering menemukan sisi Nino yang sangat berbeda dengan apa yang mungkin orang-orang di lingkungan kampusnya asumsikan. Ada sedikit harapan di hati Nina jika memang Nino adalah 'orangnya', ia harap di kemudian hari lelaki yang terkenal pendiam di kampus ini bisa selepas itu dengannya.