Shall We Begin To Dream About Us?

Nina menutup ponselnya kemudian bergegas bangkit dari duduknya setelah menunggu Nino dan mendengar klakson mobil sekitar 3 kali. Hari ini, Nina dibalut Tank top berwarna hitam yang dipadukan dengan jeans putih miliknya dan slim bag warna hitam dengan corak polos. Kamar kost Nina berada di lantai dua membuatnya sedikit harus berlari kecil sambil menuruni anak tangga. Angin menyeruak ke sela-sela rambutnya yang hitam pekat terurai.

Tiba di depan gerbang kost Nina yang tinggi, sudah berdiri lelaki jangkung bersandar di depan mobil Pajero Sport keluaran tahun 2021 berwarna hitam. Laki-laki itu mengenakan baju hitam bertuliskan Place dengan celana pendek berwarna abu-abu dan sepatu off-white. Tanpa disadari, terukir sudah senyuman manis di wajah Nina, entah mengapa. Nina berjalan menghampiri Nino yang sudah berdiri tegap sambil memutar-mutarkan kunci mobilnya.

“Hai, Nin!”

“Hai, Kak!”

“Yaudah, mau langsung jalan aja, kan? By the w-” Kalimat Nino diputus oleh Nina sebelum ia menyelesaikannya.

“Bentar dulu! Itu rambut lu kenapa basah, Kak? Gak keburu keringin rambut?” Tanya Nina sambil memegang ujung rambut Nino yang sudah membentuk bagian-bagian kecil dan terlihat tajam akibat basah, seperti rambut cowok Anime.

“Engga, udah ayo cepetan! Tadi katanya laper?” Jawab Nino sambil mengusap-ngusap rambutnya dengan kasar dan membuat beberapa tetes air mendarat di muka Nina.

“Aduh kak, kena muka gue nih!” Nina mengusap beberapa tetas air yang jatuh di mukanya dengan punggung telapak tangan kanannya.

“Maaf, gak sengaja. Udah cepet sini masuk! Bawel ya lu ternyata, Nin.” Ucap Nino sambil berjalan menuju pintu penumpang depan dan membukanya agar Nina bisa langsung masuk. Namun, di sisi lain, Nina hanya mendengus dan memutarkan bola matanya.

“Sebentar, gue beneran gak sreg liat rambut lu basah. Ikut gue dulu sini.” Nina menarik Nino, kemudian menutup pintu mobil yang telah dibuka tadi, dan berjalan menuju ruang tunggu tamu luar yang disediakan oleh pemilik kost di lantai satu.

“Duduk dulu di sini, ini kostan cewek jadi tamu-tamu yang cowok gak boleh masuk ke dalem. Gue ambilin hair dryer dulu, gak usah protes! Gue gak mau keliatan kayak jalan-jalan sama jamet. This is for my own dignity.” Nina memegang kedua pundak Nino yang letaknya lebih tinggi beberapa cm dari posisi mata Nina dan membuat gerakan mendorong ke bawah agar Nino duduk di bangku panjang yang tersedia di ruang itu.

“Astaga Layali, ribet banget sih!” Ucap Nino dengan suara sedikit naik karena Nina sudah berlari kecil lagi menuju kamarnya di lantai dua untuk mengambil hair dryer yang ia maksud. Tapi, disaat yang sama, tidak ada gerakan memberontak dari Nino. Lelaki itu malah sibuk memainkan ponselnya, entah melihat apa. Jemarinya bermain di atas layar ponsel tanpa tujuan. Beberapa kali Nino menampar mukanya yang ia sadari tersenyum seperti orang bodoh.

Gue gak boleh whipped, batin Nino.


“Udah sini cepet! Duduk deh sekarang.” Nina menarik ujung baju Nino dan memintanya untuk duduk di bangku yang lebih dekat dengan stopkontak agar hairdryer miliknya bisa tersambung kealiran listrik.

“Sabar Nina, lu bawel banget aslinya.”

“Besok-besok kalo mau jalan jangan kayak jamet gini.”

“Gue gak jamet, enak aja! ADUH SAKIT!”

“Gue gak kasar-kasar banget kayaknya,” Sekarang tangan Nina berada persis di atas kepala Nino. Jemarinya memasuki sela-sela rambut Nino dengan lihai seperti hair stylist handal.

“Nin, panas banget! Ini bukan program ngapus ingatan, kan? Nin, gue gak bakal lupa parfum 2 juta gue ilang gara-gara lu!”

“Engga lah anjir! Lu mau gue bikin lupa ingatan beneran? Bisa sih, tapi kasian ah, bentar lagi mau skripsian kan?” Tutur Nina sambil tertawa dengan tetap mengeringkan dan menggosok-gosok rambut Nino.

Tanpa Nina sadari, empunya tubuh yang membelakanginya sekarang sudah mengukir senyuman dari ujung ke ujung. Tangannya menyilang di depan dada sambil beberapa kali mengusap wajahnya yang sudah merah tomat.

“Kak, udah nih! Bilang apa lu sama gue?” Ucap Nina selang beberapa menit berlalu sambil mematikan hairdyer di tangan kanannya.

“Makasih, Princess!” Jawab Nino dengan nada meledek sambil bangun dari duduknya dan mengacak-acak ujung kepala Nina. “Gak usah baper, kita impas!” Lanjut Nino sambil merapihkan ujung bajunya yang sedikit terlipat kusut.

Tak ada jawaban dari Nina, ia hanya memutarkan kedua bola matanya menanggapi panggilan princess Nino untuk yang ketiga kalinya.

Badan Nino sekarang berada tepat di depan tubuh Nina. Tanpa basa-basi, Nino menarik slim bag hitam Nina dan membuat perempuan itu mau tidak mau mengikutinya dari belakang.

“Bentar dulu, ini hair dryernya belum dicabut!”

Nina berhenti dan kembali ke tempat di mana tadi ia mengeringkan rambut Nino. Kini hanya punggung Nina yang membelakangi Nino, lucu batin Nino.

Sekarang mereka berdua berjalan menuju mobil yang sudah terparkir di depan gerbang tadi. Sama halnya seperti beberapa menit yang lalu, Nino dengan inisiatif membuka pintu penumpang depan dan memersilakan Nina untuk masuk.

That Saturday, No more 'perfume based' or thick line between the two, They were just enjoying their moments without actually understanding what might lead them to.