You Waited

Enam hari telah berlalu sejak Nino menutup akses dirinya kepada teman kuliahnya, Nina, dan bahkan menghilang secara tiba-tiba disaat ia seharusnya menjadi MC acara EDSA Day.

Nino sedang berbaring di tempat tidurnya dan menatap langit-langit kamarnya dengan kosong. Pikirannya masih runyam, tak jarang ia bertanya kepada dirinya tentang hal apa yang bisa ia lakukan disaat seperti ini. Hari minggu lalu sebenarnya Nino sudah siap untuk menjadi MC, bahkan ia sudah siap menjemput Nina sesuai dengan janjinya. Namun tiba-tiba keadaan harus berubah ketika paman yang adalah kakak dari ibu Nino datang dan mulai memaki-maki, bahkan melayangkan satu tamparan pada wajah ibunya. Ayah Nino yang saat itu masih harus dinas juga harus kembali ke rumah dengan gelisah.

Keadaan rumah mulai membaik disaat paman Nino sudah pergi dari rumahnya. Hari itu dimana Nino berpikir ia masih bisa untuk datang ke acara EDSA Day harus sirna karena dirinya harus disidang terlebih dahulu oleh ayahnya. Di dalam kamarnya yang luas mulai menggema perkataan seperti;

“You're my first son, Markiano! You're a man! How can you fucking let you mother got slapped? Ko, are you sane?”

“Listen, I told you before that I want you to protect them when I'm not around! Ko, I'm making money to feed you all! I told you that I can't be around twenty-four seven like other dad that because I also got a whole responsibility of a whole country. You're the only person I can lean on, Markiano!”

“Reflect at yourself, ko! You've been having fun with yourself alone.”

Semua kalimat itu masih terus tengiang-ngiang di kepalanya sampai sekarang. Perasaan menyalahkan diri sendiri juga semakin besar. Pada hari minggu lalu, sebenarnya Nino sedang berada di lantai 3, berlatih sedikit untuk memastikan ia sudah menguasai semua rangkaian acara sampai terdengar sebuah chandelier yang jatuh di lantai satu. Saat itu, Nino langsung berlari dan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Di lantai 2, ia melihat adiknya yang sudah menangis sambil memengang ponsel yang terpampang ruang chat Nina. Awalnya Nino ingin membalas pesan tersebut, namun disaat suara namparan keras terdengar, tidak sengaja ia langsung melempar ponsel adiknya dan sempat membawa adiknya untuk masuk ke dalam kamarnya.

“Mika, everything's will be fine okay? I'm here. Mika, lock my room from inside, ya? Jangan keluar kalau aku belum kasih aba-aba. Jangan nangis ya, maaf.” Katanya sambil mengusap air mata yang keluar dari mata adiknya

Selama 6 hari terakhir, Nino sebenarnya tidak pernah berada di rumah selama jam kuliah. Entah bagaimana, ia merasa harus meninggalkan rumahnya saat itu. Semua rasa bersalah yang ada di dirinya semakin besar walaupun selang beberapa hari ayahnya sudah meminta maaf kepadanya.

Mengingat nama seorang wanita yang terlintas dipikirannya, Nino segera bangkit dari tidurnya dan membuka laci meja dimana ia menyimpan ponselnya dari beberapa hari yang lalu. Keadaan ponselnya sudah mati total akibat kehabisan daya. Butuh waktu beberapa menit untuk barang tersebut kembali berfungsi normal.

Tling Tling Tling

Pesan yang mulai bermasukan membuatnya menghela napas. Berdiri di depan meja dimana ia mengisi daya ponselnya, terlihat notifikasi favoritnya bertengger paling atas, dari Nini.

Mungkin orang akan menyebutnya gila, tapi sungguh sudah beberapa bulan terakhir ini memang Nino tidak bisa berhenti tersenyum jika mendapatkan pesan masuk dari Nini-nya. Mengetuk 2 kali layar ponselnya untuk membuka ruang chat dari Nina, senyumnya mulai hilang membaca satu persatu bubble chat yang Nina kirimkan. Nino membacanya dengan saksama, tak ada satu katapun yang terlewat. Jemarinya bernari diatas layar ponsel dan terus menggulir bubble chat itu hingga akhir. Sampai ada pesan yang membuat hatinya merasa sangat lepas dan tenang.

Tanpa pikir panjang, Nino mulai mengetik untuk mengajak Nina bertemu malam itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 malam. Ia sempat khawatir Nina akan menolak ajakannya, namun ternyata wanita itu menerima ajakannya.

Menuruni anak tangga rumahnya, ternyata ibu Nino masih bangun menyaksikan salah satu acara malah di TV saat itu.

“Kemana, Ko?” Tanya Mami Nino sambil memakan kacang dari toples merah.

“Mam, izin mau ke Nina.” Jawab Nino dengan singkat.

“Hati-hati, Ko! Jangan malem-malem pulangnya, lho. Kalau bisa izin orang tuanya sekalian.”

“Iya, Mam. Siap! Aku jalan dulu ya.”

“Semangat, Koko! Mami *rooting for you lho!” Terdengar lagi kalimat itu, yang sudah entah berapa kali diucapkan ibunya kepadanya. Seperti biasa, Nino hanya bisa tersenyum sambil mengucap “Makasih, Mam.” yang ia sambung dengan kata “Amin” di hati.