insoulcities

Sejak dua hari lalu Nina sudah kembali ke rumahnya. Sebagian kegiatan perkuliahan sudah selesai, hanya tersisa ujian akhir semester yang biasanya memang akan diadakan di awal bulan tahun berikutnya.

Sekumpulan notifikasi sudah bertengger di kolom paling atas lockscreen ponsel Nina. Pesan dari pemilik kontak Dior 1.7jt yang membuat Nina kehabisan kata minggu lalu, tentang sebuah pesan panjang yang berisi hal-hal yang Nina harapkan bisa ia dengar dari orang-orang terdekatnya sejak dulu. Dan seperti god's sent, seseorang itu akhirnya hadir di dalam hidupnya.

Membaca pesan dari Nino membuatnya tersenyum sangat cerah. Jika harus mendeskripsikan perasaannya, sebenarnya Nina sudah tidak bisa menjabarkannya lagi. Kalian pasti pernah merasakan kebahagiaan yang tak terbendung lagi hingga tidak ada kata yang bisa menjabarkan suasana hati kalian, bukan? Ya, sama dengan Nina hari itu.

Sesuai kesepakatan beberapa hari yang lalu, keberangkatan Nino dan Nina ke Kanada memang terpisah dari kedua keluarga. Nino dan Nina sendiri akan berada di Toronto selama beberapa hari. Dari pihak Nino sendiri memutuskan untuk berangkat pada tanggal 22 dan keluarga Nina akan berangkat pada tanggal 23. Dan keduanya berserta Nino dan Nina akan berkumpul di Vancouver pada tanggal 24.

Setelah selesai bersiap, Nina diantar Gintara menuju Bandara Soekarno-Hatta. Awalnya, seperti biasa, Nino menawarkan Nina untuk pergi bersamanya. Namun, karena beberapa pertimbangan, Nina lebih memilih untuk di antar Gintara agar lebih efisien.

“Dek, hati-hati kamu nanti di sana.”

“Ya tuhan, Abang! Emang aku mau ngapain sih?”

“Kok marah? Santai aja, Unyon!”

“Jadi, Nino udah ngajak kamu pacaran terus dia minta kamu jawabnya iya atau enggaknya di Kanada? Pede banget tuh anak! Kalo kamu tolak gimana? Nin, kamu prank aja dia.”

“Katanya dia pasrah aja, tapi dia lucu banget tau bang! Kayak gemes aja gitu, terus dia udah semenjak nembak itu kalo ngechat panjang-panjang banget. Kayak semua yang ada di kepala dia diketik. Kamu gitu juga gak ke cewekmu bang? Oh iya, bang bagi tempat nongkrong asik buat orang pacaran dong di Tangerang. Aku taunya di daerah BSD aja, siapa tau kamu tau yang lucu-lucu estetik gitu,” Ucap Nina panjang lebar tanpa jeda. “Bang! Jawab aku dong!” Ujar Nina sambil menepuk keras bahu Ginatara.

“Aku gak ngomong sama bulol.”

“Anjing.”

“Iya, nanti aku list dulu tempat-tempatnya.”


“Dek, aku balik ya? Tungguin aja si Nino di sini, lagi jalan mungkin. Cewekku udah bales minta jemput nih.” Kata Gintara sambil menggoyangkan ponsel di genganggamannya.

“Iya, udah sana pacaran sama Kak Kaila. Bulol!”

“Sesama bulol mening damai aja.” Gintara memeluk adik perempuan satu-satunya dan mencium kening, serta pipi kanan & kiri.

“Kaget! Aku kira kamu dicium siapa.” Suara yang tak asing terdengar dari sebelah kanan Nina. Ya, itu Nino.

“No, jagain ya adek gue. Awas aja lo apa-apain. Asli, jadi orang pertama yang paling murka.” Kata Ginatara sambil berpura-pura meremas pundak Nino.

“Iya, kak. Ceweknya juga aing maung. Gue gak berani!”

“Hahaha! Oke hati-hati. Bisa Bahasa Inggris kan lo berdua?”

“KITA ANAK SASING!” Teriak Nino dan Nina bersamaan.

“Udah, jodoh deh! Keren banget lo berdua.” Ucap Ginatara sambil berjalan menjauh dari Nino dan Nina.


Selama menunggu boarding, Nina duduk tepat di samping Nino dan wanita itu tidak bisa berhenti memainkan rambut Nino yang sekarang warnanya sudah berubah menjadi blonde.

“Ngapain sih dikunyel-kunyel terus rambut aku?”

“Gak papa, masih kaget aja. Abisnya kamu jadi kayak bule banget! Rambut kamu keren juga gak rusak-rusak banget, oke lah ini. Nyalon kali ya aku di Kanada? Mau ganti jadi blonde lagi.” Kata Nina sambil terus memainkan rambut Nino.

“Biar kembaran gitu?”

“Iya, biar nanti aku foto beler lagi terus kamu bilang cantik tapi gak lupa kata Anjingnya.”

“JANGAN DIINGETIN!!”

Keduanya sekarang hanya sibuk membicarakan hal-hal yang tidak penting. Nina dengan saksama mendengarkan Nino bercerita pengalaman-pengalamannya yang sudah seperti simulasi webinar. Tertawa, tersenyum, dan bahagia, hanya itulah yang bisa mendeskripsikan mereka.


Kota Toronto hari ini terbilang cukup baik dibandingkan beberapa hari lalu yang diguyuri hujan lumayan deras. Cuaca yang terang namun berawan tidak menutup kenyataan bahwa selapis baju tidak dapat membuat seseorang akan ada di kata hangat.

Scotiabank Arena saat ini dipenuhi oleh ribuan orang yang siap menyaksikan penampilan dari artis dunia yang namanya sudah melambung sejak 10 tahun lalu. Berbagai lagu Justin Bieber secara random sudah diputar di luar arena sebagai starter pack sebelum konser dilaksanakan.

“Nin, kedinginan gak? Mau pake jaket aku?” Tanya Nino sambil mencoba untuk melepas jaketnya.

“Nope, i'm fine.”

Nino dan Nina sekarang sedang mengantre menunggu giliran untuk masuk ke dalam arena. Pasangan soon-to-be-official ini memang terlalu memiliki ambisi yang tinggi untuk melihat Justin Bieber. Bahkan semalam keduanya mengadakan konser dadakan dimana Nino bernyanyi lagu-lagu Justin Bieber dan Nina berpura-pura menjadi seorang fans. Tak terlewat juga segment legendaris One Less Lonely girl, itupun mereka parodikan juga.

“Hey! Can I see your tickets please?” Tanya salah satu petugas penjaga pintu masuk konser.

“This.” Jawab Nino dengan singkat dan memberikan tiket dalam bentuk fisik yang ia tukarkan tadi pagi.

“Okay! Two tickets for front row section A. Alright! It's verified! Thank you, enjoy the show!”

“Thank you.” Ucap Nina sambil memberikan senyuman tulusnya.

Sekarang Nino dan Nina berjalan menuju section mereka. Nina berjalan tepat di depan Nino, ia tidak bisa berhenti melompat dan menghentakkan kakinya. Nino hanya bisa tertawa dan berjalan lebih cepat agar ia dapat berjalan seiring dengan Nina dan menggenggam tangannya.

Saat lampu di dalam venue sudah mati dan sinar-sinar putih tercampur cahaya ungu mulai dinyalakan, teriakan-teriakan histeris mulai bisa terdengar dengan jelas. Begitu juga Nina yang tanpa ia sadari sendiri sudah berteriak sangat kencang. Selama konser berjalan, Nino sebenarnya lebih sering mengawasi Nina yang sudah beberapa kali sempat terdorong tidak sengaja oleh kerumunan. Tangan kirinya memegang bahu kiri Nina yang sesekali menariknya mendekat ke dalam dekapannya akibat dorong-dorongan tersebut.

“MARKIANO! I WANT TO SAY THANK YOU SO MUCH! I'M SORRY I GOT TOO EXCITED WATCHING MY PARASOCIAL BOYFRIEND!”

“YES, NIN! IT'S OKAY! ENJOY THE SHOW. I'M HAPPY TO SEE YOU HAPPY!”

“MARKIANO, YOU LOOK PALE! ARE YOU OKAY?”

“DO I? I'M OKAY!”

“MARKIANO!”

“YES, WHY?”

“AREN'T YOU WAITING FOR MY ANSWER?”

“I AM! SINCE YESTERDAY TO BE HONEST.”

“HE IS SINGING HAILEY NOW! DO YOU KNOW THE LYRICS?”

“OFCOURSE, I DO!”

“CAN YOU SING ALONG WITH HIM? JUST FOLLOW ALONG THE LYRICS!”

“LOOKING IN YOUR EYES, I CAN'T BELIEVE YOU'RE MINE. IT'S BEYOND AN OBSESSION, ALL OF MY ATTENTION NOTHING CAN COMPARE TO YOU.”

“Now look at my eyes. Say the first line.”

“Looking in your eyes, I can't believe you're mine.”

“Yes, babe? Why can't you believe that i'm yours now?”

Jantung Nino berdegup dengan kencang. Wajahnya sudah berubah berubah menjadi merah. Sekujur tubuhnya seakan ingin berteriak. Matanya tidak bisa berhenti melihat perempuan di sampingnya yang sangat dengan mudah sudah kembali fokus untuk melihat Justin menyanyikan lagu Hailey.

Nino menarik tangan Nina keluar dari kerumuman, menariknya sedikit ke belakang yang berdekatan dengan barikade dimana lebih banyak ruang kosong dibandingkan sebelumnya.

“KAK! WHAT HAPP—”

Dengan sekuat tenaga Nino mengangkat Nina duduk diatas barikade tersebut. Ia sudah membuat tangan Nina melingkar di lehernya. Kedua pasang mata ini sekarang sudah bertatapan dengan sahdu.

“Mau nyium gue ya lu? Bilangin abang nih abis ini.” Ucap Nina sambil menarik Nino menjadi lebih mendekat kepadanya.

“Iya, boleh gak? Your consent matters.”

“How can you ask this in front of my parasocial boyfriend?”

“Ya amᅳ”

Ucapan Nino terhenti saat ia merasakan bibir plump dan hangat Nina mendarat di pipi kanannya. Perempuan itu kemudian langsung meloncat dari barikade dan kembali melompat serta berteriak seolah tak terjadi apa-apa.

Nino hanya bisa tertawa dan mengikutinya dari belakang. Sempat disaat Nina sedang mengambil napasnya karena lelah melompat, Nino memeluknya dari belakang dan mencium pipi gadis itu.

Hello, Markiano! This is Kanina, I'm very happy to be someone special to you. Thank you for being there for me when I need you the most until today, I thought you were my biggest mistake, but you're actually my greatest biggest mistake. I love you and I want to grow old with you too!

Seperti yang Nina janjikan beberapa yang hari lalu, setelah menyeselesaikan kursus dengan Isa, ia bersedia untuk menjadi teman latihan que card acara EDSA Day Nino. Namun, kenyataannya sekarang berbeda jauh dari apa yang Nina bayangkan. Di lantai satu, kini, Nino sedang berdiri di atas meja hasil dari paksaan Jule dan Hadya yang berlindung dibalik tameng “No, nanti EDSA Day panggungnya tinggi. Latihan dari sekarang aja, tapi pake meja dulu”. Sekarang Nina, Jule, Hadya, Isa, Mika, Mami serta Papi Nino duduk bersila di lantai sebagai penonton, begitu juga beberapa ART yang tak sengaja berkumpul juga untuk menyaksikan latihan Nino.

“Ah, kok jadi semuanya ngeliatin? Males.” Nino menghentakkan kakinya ke meja.

“Ko, kamu gak keren banget. Aku jadi MC acara Children's Day kemarin.” Kata Mika dengan suara kecilnya yang lucu yang mengundang beberapa gelak tawa dari para 'penonton'.

“Okay, Okay. Hello everyone! I'm Markiano Iskandar and I'm today's host for EDSA Day.”

Jule dan Hadya yang dengan sekuat tenaga menahan keluarnya suara tawa dari mulut mereka, Mika dan Nina yang juga saling melirik satu sama lain membuat Nino menjadi jadi tak enak hati. Suasana rumah yang sebenarnya menjadi hidup berbanding terbalik dengan Nino yang sekarang sudah turun dari meja yang tadi ia naikki tadi dengan raut muka lelah.

“Ko, kamu mau jadi MC acara jurusanmu, bukan mau ikut Papi sidang MPR. Why are you so stiff, Markiano?” Seisi ruangan sekarang sudah tertawa lepas karena betul his first attempt was so stiff.

“Tau, No! Lu kan di EDSA artis, ngapain tegang banget?” Kali ini giliran Jule yang buka mulut.

Sekitar 45 menit dihabiskan oleh Nino untuk berlatih que card EDSA Day pertamanya. Seiring waktu berjalan, akhirnya hanya ada satu penonton yang masih setia mendengarkan celotehan Nino. Jule dan Hadya sudah kembali ke kamar Nino yang memang sudah seperti kamar sendiri dan yang lain melanjutkan aktivitasnya masing-masing.

“Kak, udah bagus kok kata gue. Cuman mungkin kalo bisa jangan terlalu scripted gitu, mungkin nanti lu banyakin interaksi aja sama penontonnya biar gak tegang-tengang banget. But overall, you did a very great job! Proud of you!” Jelas mendengar kata-kata Nina membuat Nino sangat senang. Laki-laki itu sudah tidak berdiri di atas meja sejak hanya Nina yang menjadi penonton setianya. Keduanya tadi duduk berhadapan sambil sesekali tertawa bersama.

“Thank you, my very supportive mate!” Kata Nino sambil, seperti biasa, mengelus puncak kepala Nina.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Sebenarnya Nina dan Nino memiliki rencana untuk malam minggu bersama, namun ternyata semuanya harus ditunda karena ternyata keluarga Nino sudah terlebih dahulu memiliki rencana yang sama. Mau tidak mau Nina harus mengalah karena tentunya waktu bersama keluarga tidak bisa diganggu gugat.

Duhai sayang Denganmu tenang Hanya kau yang mampu Buat penuh hatiku Kusebut namamu Dalam hening doaku – Yura Yunita

Malam itu, Nino mengendarai mobil sedan yang pertama kali ingin ia gunakan untuk berkencan dengan Nina walau sang pencipta berkata lain. Nino melaju dengan kecepatan normal hingga sampai di depan kost Nina setelah kurang lebih 15 menit memakan waktu.

Tesentak dirinya melihat Nina sudah berdiri di depan pintu pagar kost dan melambaikan tangan serta tak lupa senyum manis khas miliknya. Nina berjalan ke arah pintu pengemudi dan mengetuk kaca mobil Nino. Nino menurunkan kaca mobilnya yang sempat menjadi pembatas antara mereka berdua.

Hi, prince! It’s been a week? I guess?” Ucap Nina dengan nada khasnya setiap ia ingin meledek Nino.

Hi! How's life, pretty?” Jawab Nino dengan senyuman.

Not that good since you weren't around. Kak, turun deh! Let me drive for you tonight! Ini spesial karena akhirnya lu muncul lagi setelah seminggu.”

“Seriusan?”

Tak ada jawaban dari Nina. wanita itu hanya mengangguk dan mencoba membuka pintu mobil pengemudi Nino melalui sela kaca.

Keduanya saat ini sudah bertukar posisi. Keadaan mobil pun masih terasa canggung. Entah, mungkin karena seminggu ini mereka tidak bertemu. Yang satu malu teringat sekumpulan pesan yang ia kirimkan beberapa saat lalu dan Yang satu sebenarnya sedeng mengagumi betapa cantiknya paras wanita disebelahnya.

“Kak, ngaku sama gue, pasti lu stres kan? Terus kayak mau teriak gitu.” Suara Nina membuyarkan lamunan Nino. Sekarang matanya kembali mentap jalanan malam hari yang masih ramai.

“Iya sih, mau.”

“Kak, are you better now? Gue biasanya sama abang kalo lagi stres mainnya ke jalan tol. Drive santai aja terus nanti buka kaca, teriak deh.”

“Polusi suara, Nin.”

“Gak gituuu, teriaknya tetep dalem mobil tapi kacanya dibuka dikit biar nanti gendang telinga gue juga gak pecah.”

“Ampuh gak?”

“Ampuh banget! Biasanya habis teriak jadi laper.”

“Hahaha! Oke, do whatever suits you tonight since i miss you a lot.” Jawab Nino sambil mengusap-usap halus kepala Nina.

Caress her hair is actually Nino's personality trait


“Kak, udah mau teriak belum? Gak papa keluarin aja semua, gue biasanya cursing. Semuanya gue absen dari yang good sampe chaotic evil.” Nina membuka kaca mobil di sebelah Nino melalui tombol otomatis dari kursi pengemudi. Mulai terasa angin sejuk mulai masuk ke dalam mobil Nino dan dengan lembut menyentuh kulitnya. Rambut laki-laki di sampingnya juga terlihat mulai berantakan.

Tak butuh waktu lama, sumpah serapah mulai keluar dari mulut Nino. Di saat yang bersamaan, Nina hanya memperhatikan lelaki di sampingnya dengan khawatir, ia tak pernah tau bahwa akan ada segudang amarah dan resah di dalam dirinya yang terlihat baik-baik saja. Keadaan jalan malam itu cukup sepi, berbanding terbalik angin yang terus keluar masuk mobil dari jendela.

“Aduh bentar, Nin. Mampir rest area dong, haus nih teriak-teriak mulu.”

Nina masih bingung dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Nino. Laki-laki ini benar satu di dunia, tak pernah sepanjang sejarah hidupnya bersama Kak Tara saat harus melakukan ritual teriak diselingi dengan jeda haus ingin minum. Kemudian, Nina hanya tertawa, menurutnya itu sangat lucu.

Sesampainya di rest area, keduanya membuka bagasi belakang mobil dan duduk sambil melihat bintang-bintang di langit yang sebenarnya sama sekali tidak ada malam itu.

“Kak, gue mau nanya deh. Kok mobil Pajero lu sering dipake Kak Hadya sih?” Tanya Nina sambil mencoba membuka tutup minum yang masih tersegel.

“Emang itu mobil Hadya. Oh… gara-gara waktu pertama kali kita mau jalan ya? Awalnya gue bawa mobil ini, yang lagi kita pake tapi waktu itu mogok hahaha. Terus gue gojek dulu ke rumah Hadya minjem mobil.” Jelas Nino sambil mengambil alih dan membuka tutup botol yang tadi Nina sempat coba untuk buka.

“Terus makannya waktu itu rambutnya basah? Hujan kan waktu itu?”

“Iya hahaha!”

Nina kembali menatap langit-langit, keadaan hatinya sangat campur aduk. Semua aksi Nino yang tidak pernah ia sadari, betapa hal-hal kecil itu membuatnya sangat tersentuh sekarang. Tak semua bisa dijabarkan, namun rasanya memang banyak sekali hal yang laki-laki ini sudah lakukan untuknya.

“Nin, to respond to your chat today, thank you udah mau cerita sama gue. Gue gak tau kalau mantan lu sefreak itu. I'm sorry that you had to through that shit! Nin, gue sebenernya sebelum jemput lu udah nyiapin sesuatu tapi baru bisa dikasih nanti waktu kita udah balik. Oh iya, soal gue, i'm fine now. Waktu hari minggu, Mami tiba-tiba ditampar sama orang. I failed to protect her! Gue pikir setelah kejadian itu gue masih bisa berangkat ke kampus karena kayak yang lu bilang, soal tanggung jawab. Tapi ternyata gue harus- ya biasa, kena ceramah dulu sekitar 4 jam. Terus setelah itu gue ngerasa low banget, makannya gue jauh-jauh dari hp. Sorry ya, Nin. I'm sorry too that I can't explain exactly what happened to me. I'm not ready.” Jelas Nino panjang lebar.

“Kak, maaf... gue baru tadi kejadiannya kayak gitu dan gak papa! I guess it's my turn to wait for you? Lu juga nunggu gue berbulan-bulan.Kalau udah siap buat cerita, cerita aja ke gue. Mungkin gue juga gak bisa banyak kasih saran yang ampuh karena kata Icha kalo dengerin orang cerita terus kita kasih saran tapi sebenernya kita gak terlalu familiar sama masalahnya bakal keliatan ignorant. But at least, for you, I can hear your story so that you feel at ease afterwards. Kita impas nih!”

Tak henti sampai situ, Nino dan Nina menghabiskan waktu di rest area untuk membahas banyak hal, mulai dari yang pembahasannya berat hingga membahas hal-hal aneh yang pernah Nino lakukan. Kali ini giliran cerita bagaimana Nino menemukan kura-kura di pinggir gedung Fisip dan meminjam mangkok kantin agar ia bisa membawanya pulang ke rumah dengan kondisi baik-baik saja karena dari yang ia pelajari, kura-kura butuh air.

“Eh, aku, eh, gue... apa ya? Aku deh... aku mau bikin webinar, nanti kamu ngomong 3 jam. Isinya kamu cerita semua hal random yang udah pernah kamu lakuin gitu. Gimana?” Tanya Nina sambil menatap dalam mata Nino.

“EH JANGAN GITU DONG NGELIATINNYA! AH MALES, AYO BALIK LAH, YA TUHAN TOLONGGGGGG!” Jawab Nino sambil bangun dari duduknya.

“KENAPA SIH JADI ORANG GAMPANG BANGET WHIPPED?” Ucap Nina sambil mengikuti Nino dari belakang.

“KANINA EER LAYALI PLEASE STAY AWAY FROM ME!”

“NAMA AKU IR BUKAN EER!”

“LAH? SOTOY!”

“AKU YANG PUNYA NAMA! DASAR NUR!”

“NOER BUKAN NUR”

“NUR!”

“EER”

“ANJING MARKIANO!”

“JERAPAH KANINA!”

“APA SIH? IH INI KENAPA JADI LARI-LARIAN? JADI BALIK GAK?” Teriak Nina yang berada di sebrang kanan mobil dan Nino yang berdiri di sebrang kiri mobil.

“Mau, tapi peluk dulu.” Kata Nino dengan enteng.

Dengan langkah lunglai, Nina menghampiri Nino dan membuka tangannya dengan lebar agar lelaki itu bisa masuk ke dekapannya.

“Nini, perfume Dior aku jangan lupa digantiin.” Bisik Nino di telinga Nina dengan lembut.

“Kamu mau aku cubit apa pukul?” Bisik Nina kembali di kuping Nino.

“Bercanda.”

Before you came into my life Everything was black and white Now all I see is colour Like a rainbow in the sky Colour – MNEK

Enam hari telah berlalu sejak Nino menutup akses dirinya kepada teman kuliahnya, Nina, dan bahkan menghilang secara tiba-tiba disaat ia seharusnya menjadi MC acara EDSA Day.

Nino sedang berbaring di tempat tidurnya dan menatap langit-langit kamarnya dengan kosong. Pikirannya masih runyam, tak jarang ia bertanya kepada dirinya tentang hal apa yang bisa ia lakukan disaat seperti ini. Hari minggu lalu sebenarnya Nino sudah siap untuk menjadi MC, bahkan ia sudah siap menjemput Nina sesuai dengan janjinya. Namun tiba-tiba keadaan harus berubah ketika paman yang adalah kakak dari ibu Nino datang dan mulai memaki-maki, bahkan melayangkan satu tamparan pada wajah ibunya. Ayah Nino yang saat itu masih harus dinas juga harus kembali ke rumah dengan gelisah.

Keadaan rumah mulai membaik disaat paman Nino sudah pergi dari rumahnya. Hari itu dimana Nino berpikir ia masih bisa untuk datang ke acara EDSA Day harus sirna karena dirinya harus disidang terlebih dahulu oleh ayahnya. Di dalam kamarnya yang luas mulai menggema perkataan seperti;

“You're my first son, Markiano! You're a man! How can you fucking let you mother got slapped? Ko, are you sane?”

“Listen, I told you before that I want you to protect them when I'm not around! Ko, I'm making money to feed you all! I told you that I can't be around twenty-four seven like other dad that because I also got a whole responsibility of a whole country. You're the only person I can lean on, Markiano!”

“Reflect at yourself, ko! You've been having fun with yourself alone.”

Semua kalimat itu masih terus tengiang-ngiang di kepalanya sampai sekarang. Perasaan menyalahkan diri sendiri juga semakin besar. Pada hari minggu lalu, sebenarnya Nino sedang berada di lantai 3, berlatih sedikit untuk memastikan ia sudah menguasai semua rangkaian acara sampai terdengar sebuah chandelier yang jatuh di lantai satu. Saat itu, Nino langsung berlari dan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Di lantai 2, ia melihat adiknya yang sudah menangis sambil memengang ponsel yang terpampang ruang chat Nina. Awalnya Nino ingin membalas pesan tersebut, namun disaat suara namparan keras terdengar, tidak sengaja ia langsung melempar ponsel adiknya dan sempat membawa adiknya untuk masuk ke dalam kamarnya.

“Mika, everything's will be fine okay? I'm here. Mika, lock my room from inside, ya? Jangan keluar kalau aku belum kasih aba-aba. Jangan nangis ya, maaf.” Katanya sambil mengusap air mata yang keluar dari mata adiknya

Selama 6 hari terakhir, Nino sebenarnya tidak pernah berada di rumah selama jam kuliah. Entah bagaimana, ia merasa harus meninggalkan rumahnya saat itu. Semua rasa bersalah yang ada di dirinya semakin besar walaupun selang beberapa hari ayahnya sudah meminta maaf kepadanya.

Mengingat nama seorang wanita yang terlintas dipikirannya, Nino segera bangkit dari tidurnya dan membuka laci meja dimana ia menyimpan ponselnya dari beberapa hari yang lalu. Keadaan ponselnya sudah mati total akibat kehabisan daya. Butuh waktu beberapa menit untuk barang tersebut kembali berfungsi normal.

Tling Tling Tling

Pesan yang mulai bermasukan membuatnya menghela napas. Berdiri di depan meja dimana ia mengisi daya ponselnya, terlihat notifikasi favoritnya bertengger paling atas, dari Nini.

Mungkin orang akan menyebutnya gila, tapi sungguh sudah beberapa bulan terakhir ini memang Nino tidak bisa berhenti tersenyum jika mendapatkan pesan masuk dari Nini-nya. Mengetuk 2 kali layar ponselnya untuk membuka ruang chat dari Nina, senyumnya mulai hilang membaca satu persatu bubble chat yang Nina kirimkan. Nino membacanya dengan saksama, tak ada satu katapun yang terlewat. Jemarinya bernari diatas layar ponsel dan terus menggulir bubble chat itu hingga akhir. Sampai ada pesan yang membuat hatinya merasa sangat lepas dan tenang.

Tanpa pikir panjang, Nino mulai mengetik untuk mengajak Nina bertemu malam itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 malam. Ia sempat khawatir Nina akan menolak ajakannya, namun ternyata wanita itu menerima ajakannya.

Menuruni anak tangga rumahnya, ternyata ibu Nino masih bangun menyaksikan salah satu acara malah di TV saat itu.

“Kemana, Ko?” Tanya Mami Nino sambil memakan kacang dari toples merah.

“Mam, izin mau ke Nina.” Jawab Nino dengan singkat.

“Hati-hati, Ko! Jangan malem-malem pulangnya, lho. Kalau bisa izin orang tuanya sekalian.”

“Iya, Mam. Siap! Aku jalan dulu ya.”

“Semangat, Koko! Mami *rooting for you lho!” Terdengar lagi kalimat itu, yang sudah entah berapa kali diucapkan ibunya kepadanya. Seperti biasa, Nino hanya bisa tersenyum sambil mengucap “Makasih, Mam.” yang ia sambung dengan kata “Amin” di hati.

Hari Sabtu di Kota Tangerang cukup terik hari ini, masih banyak kendaraan yang berlalu-lalang di ruas jalan. Di dalam mobil kecilnya, Nina mengetuk setir mobilnya dengan jari telunjuknya mengikuti irama lagu yang diputar di radio. Hari ini adalah hari pertamanya mengikuti kursus hairdresser yang sudah ia dambakan sejak dulu.

Usaha kedua memasuki perumahan Nino berjalan jauh lebih mulus dari yang pertama, yang sempat membuat Nina ditahan di pos satpam sekitar 10 menit. Sebenarnya setelah kembali dari Rapat Internal 1 hari itu, Nina baru saja mengetahui bahwa perumahan Nino memang sebuah kompleks perumahan yang disediakan negara bagi orang-orang yang juga penting untuk negara. Meskipun memang tak sepenuhnya, tapi mayoritas dari realita yang ada begitu.

Sesampainya di depan rumah Nino, Nina mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Nino agar bisa membukakan pagar rumahnya yang sangat menjulang tinggi. Setelah menunggu sekitar 3 menit bukannya Nino yang keluar dari pintu rumah dengan manis seperti yang Nina bayangkan, lelaki itu malah muncul dari balkon kamar seperti tergesa-gesa.

“NINA! GUE LAGI MAIN GAME GAK BISA DITINGGAL, NANTI RANKINGNYA TURUN! BUKA AJA ITU PAGERNYA, GESER KE KANAN. KAK ISA UDAH DI LANTAI 3. SORRY, NIN!” Teriak Nino dari balkon kamarnya dengan terburu-buru masuk ke kamarnya lagi.

“Lah, Kak! Eh, jangan- Ya Tuhan Markiano,” Nina menghela napasnya panjang dan memcoba membuka pagar dengan sangat berhati-hati.

Berhasil masuk dari pagar yang menjulang tinggi, sekarang ia dihadapkan dengan pintu rumah yang tak kalah besar juga. Tangannya sudah menggenggam gagang pintu yang ada, namun ia masih tidak berani untuk membukanya.

Nina mengambil langkah mundur dan mencoba untuk berada di posisinya yang sekiranya jika dia akan berteriak Nino bisa mendengarnya.

“KAK NINO! INI PINTUNYA GI-”

Suaranya terhenti saat ia melihat wanita paruh baya keluar dari pintu tersebut, terlihat sangat anggun meski hanya dibalut busana sederhana.

“Nina? Maaf ya, Nina. Nino emang suka semaunya sendiri. Kamu kan yang mau kursus sama Isa? Masuk aja. Oh iya lupa, saya Arlita, ibunya Nino.”

“Eh.. Oh, iya tante. Gak papa kok.” Jawab Nina dengan lembut. Ia masih sedikit tertegun dengan kemunculan Arlita di depannya. ia tak pernah terbayang akan bertemu dengan Ibu Nino seperti ini.

Melangkah masuk ke rumah Nino yang dibalut nuansa putih dengan tema eropa juga sempat membuat Nina menelan ludah. Terlebih lagi saat terlihat dengan jelas foto keluarga yang terpajang di ruang tamu. Di foto itu Nino mengenakan setelan jas hitam berpadu dengan dasi kupu-kupu yang membuatnya terlihat sangat menawan.

“Nin, Isa ada di lantai 3. Kamu langsung naik aja, nanti kalau ada butuh sesuatu, langsung minta Nino atau tante aja ya.” Jelas wanita itu sambil bersamaan dengan Nina menuju tangga yang ada tepat di sebelah kanan pintu masuk.

Sesampainya di lantai 2, Nina dan Arlita berpisah. Arlita menuju kamar Nino yang bernuansa biru dan dipenuhi dengan action figure Spiderman.

“Ko, kamu tuh ya! Cewekmu lho itu baru dateng, bukannya dibukain, malah main game. Gak mau nanti dia sama kamu. Jangan gitu lain kali!” Suara yang cukup kencang itu terdengar oleh Nina yang sudah setengah jalan menaiki anak tangga untuk ke lantai 3 dan Nina sedikit tertawa kecil


“Kak, aku mau balik ke mobil dulu kayaknya. Ada yang ketinggalan. Sekalian ini temen Kak Nino barusan chat minta dibukain pintu.” Izin Nina kepada Isa setelah 30 menit kursus berjalan, yang sebenarnya lebih ke acara sharing. Isa hanya membalas dengan anggukan dan senyuman manis.

Nina menuruni tangga dan sampai di lantai 2, masih terlihat Nino yang sangat fokus memainkan gamenya. Hanya teriakan random yang terdengar, seperti “Dude! I got you! I got you!” “Where the hell are you?” “WAIT! I GOT A GRENADE!”. Berulang kali Nino loncat dari kursi gamenya. Untuk pertama kalinya Nina melihat Nino seaktif itu.

Saat membuka pintu rumah Nino yang menuju langsung ke pagar, terlihat Jule dan Hadya yang sudah berdecak pinggang dengan muka masam.

“Akhirnya, Nin! Lu keluar juga.” Kata Jule sambil memegang pagar Nino dengan kedua tangan.

“Kok gak masuk kak?” Tanya Nina dengan bingung yang hanya dibalas dengan arahan dari Jule agar Nina dapat membantu membuka pagar tersebut dari dalam.

“Jul, bilang Nino dulu kita udah dibukain pintu sama Nina.” Kata Hadya sembari mengunci mobilnya.

Tak lama setelah pesan itu terkirim, Nino kembali muncul di balkon kamarnya dengan muka penuh sumpah serapah.

“JULE LU ANJING UDAH GUE BI-” Kata-kata Nino terhenti ia melihat Nina yang sudah berdiri di samping Jule dan Hadya. Ia menghela napasnya dan mencoba berdamai dengan keadaan.

“Tuh, Kis. Dia sama Nina jadi pudding.”

“Tai, kok bisa gitu tu orang?”

Mendengar percakapan Jule dan Hadya, Nina hanya bisa menggelengkan kepalanya dan menuju ke mobil untuk mengambil barang yang tertinggal tadi.


Selama kursus berlangsung, sebenarnya Nina dan Isa jauh dari kata fokus. Teriakan 3 laki-laki dari lantai 2 yang sedang bermain monopoli sangat membuat Isa harus beberapa kali harus menjeda penjelasannya tentang dasar-dasar hairdresser kepada Nina.

“JULE! DADU LU CUMAN 11 KOK NGOCOK LAGI?”

“DEMI ALLAH NINO MISKIN BANGET! HAHAHAHA!”

“KIS HOTEL GUE JANGAN DIROBOHIN ANJIR!”

“NINO DENDA LAGI. YA ALLAH AKHIRNYA KATA UTANG SAMA MARKIANO BISA ADA DI SATU KALIMAT. MARKIANO NGUTANG DI BANK!”

Teriakan-teriakan itu yang kerap terdengar dari lantai 2. Isa dan Nina hanya bisa tertawa jika mereka mendengar kalimat-kalimat aneh yang terucap dari mulut trio yang sedang heboh itu. Hari demi hari, Nina menjadi lebih sering menemukan sisi Nino yang sangat berbeda dengan apa yang mungkin orang-orang di lingkungan kampusnya asumsikan. Ada sedikit harapan di hati Nina jika memang Nino adalah 'orangnya', ia harap di kemudian hari lelaki yang terkenal pendiam di kampus ini bisa selepas itu dengannya.

Suasana perjalanan menuju Bebek Kaleyo cukup terbilang tidak sepi, mengingat sebenarnya ini kali pertama Nina dan Nino berada di ruang yang sama untuk waktu yang cukup lama. Jalanan pun cukup ramai, mungkin karena ini hari sabtu. Setiap orang keluar untuk menikmati waktu senggangnya.

Keduanya banyak membahas hal, mulai dari highlight rambut palsu yang Nina gunakan saat Kawula Festival yang kata Jule seperti rambut anak ayam SD hingga khotbah Sabtu singkat beserta tips tentang bagaimana mahasiswa bisa melewati semester 5 yang brengsek dengan normal dan ikhlas dari Nino.

“Kenapa milih Sastra Inggris, Kak?” Tanya Nina sambil memainkan gim Pou di ponselnya.

“Dari kecil gue udah Bahasa Inggris. Papi gue juga ada sedikit keturunan Kanadanya. Dikit banget sih, tapi dari situ gue jadi lebih sering ngomong Bahasa Inggris. Gue juga lebih comfortable pake Bahasa Inggris, makannya gue ambil Sasing. Modal YOLO aja.” Jelas Nino sambil mengendalikan setir mobil dengan satu tangan dan satu tangan lainnya memegang gelas Starbucks yang dibeli beberapa menit lalu setelah melaju dari kost Nina.

“Oh.... ada keturunan Kanada.” Nina mengulang perkataan Nino yang sebenarnya bukan berita baru untuknya karena Nina sudah tahu hal itu beberapa minggu lalu # Kekuatan Follow Twitter Nino.

“Kalo lu kenapa Sasing? Muka lu keliatan kayak mba-mba Komunkasi atau Ekonomi.” Kali ini giliran Nino yang balik bertanya kepada Nina.

“Hm, gimana ya? Aku, eh, maksudnya gue ikutan bang Tara aja sih. Abisnya waktu SMA itu gue sebenernya mau ambil kelas terapan gitu, gue pengen jadi hair dresser, cuman ya gitu deh. You know how parents think about their daughter not graduating from University and decide to choose what-so-called hair dresser. I had to leave my home during those days tau. Hahahaha kinda funny, but thank god, I have my brother. He helped me a lot, so ya gitu kenapa gue milih Sastra Inggris.”

I see...I'm sorry to hear that, Nin. Is everything good now?

“Iya, everything's good! I could understand my parents back then and luckily, I met Arel and Icha here, so everything's good. I should thank my parents maybe.

“Keren! Very wise, Nin. I'm proud of you. Sekarang kenapa gak coba ikut kursus, Nin?”

“Mau banget kak, tapi gue masih takut keteteran. Jadi, masih nantian kayaknya.”

Keduanya sekarang terdiam, tidak ada sepatah kata maupun pertanyaan yang terlontar. Menyadari suasana yang berubah menjadi canggung, Nina menyalakan radio mobil dan mencari 102.2 FM atau Radio Prambors, radio hitsnya anak muda masa kini.

Gayamu dan wajahmu terbawa dalam mimpi Diriku dimabuk asmara Hati yang berbunga Pada pandangan pertama Oh Tuhan tolonglah Aku cinta, aku cinta dia

Terdengar lagu Aku Cinta Dia milik Chrisye yang dicover oleh Vidi Aldiano. Bukan mencairkan suasana, keduanya malah semakin canggung.

Di saat kau berjalan di muka rumahku, penuh gaya Tersita pandanganku hingga ku terpesona Gayamu dan wajahmu terbawa dalam mimpi Diriku dimabuk asmara

Alright! Welcome to Mark's carpool karaoke, we would like to start off with...a... Watchu doin', Where you at, Oh, you got plans? Don't say that.

“Lah, gimana sih kak kok lagunya beda?”

“Hahaha, lagian kayak tegang banget bestie.”

Keduanya jadi menghabiskan perjalanan dengan acara dadakan buatan Nino, 'Mark's Carpool Karaoke'. Hari itu, mereka juga saling mempelajari genre kesukaan masing-masing. Nina sekarang tahu bahwa Nino suka Justin Bieber dan Yovie & Nuno. Sama untuk Nino, sekarang ia tahu bahwa Nina adalah hardcore fans grup britania raya, One Direction, yang masih punya mimpi untuk bertemu Zayn Malik.

The more I learn about you, The more I want you. So please, open up your heart because I'm about to start.

Nina menutup ponselnya kemudian bergegas bangkit dari duduknya setelah menunggu Nino dan mendengar klakson mobil sekitar 3 kali. Hari ini, Nina dibalut Tank top berwarna hitam yang dipadukan dengan jeans putih miliknya dan slim bag warna hitam dengan corak polos. Kamar kost Nina berada di lantai dua membuatnya sedikit harus berlari kecil sambil menuruni anak tangga. Angin menyeruak ke sela-sela rambutnya yang hitam pekat terurai.

Tiba di depan gerbang kost Nina yang tinggi, sudah berdiri lelaki jangkung bersandar di depan mobil Pajero Sport keluaran tahun 2021 berwarna hitam. Laki-laki itu mengenakan baju hitam bertuliskan Place dengan celana pendek berwarna abu-abu dan sepatu off-white. Tanpa disadari, terukir sudah senyuman manis di wajah Nina, entah mengapa. Nina berjalan menghampiri Nino yang sudah berdiri tegap sambil memutar-mutarkan kunci mobilnya.

“Hai, Nin!”

“Hai, Kak!”

“Yaudah, mau langsung jalan aja, kan? By the w-” Kalimat Nino diputus oleh Nina sebelum ia menyelesaikannya.

“Bentar dulu! Itu rambut lu kenapa basah, Kak? Gak keburu keringin rambut?” Tanya Nina sambil memegang ujung rambut Nino yang sudah membentuk bagian-bagian kecil dan terlihat tajam akibat basah, seperti rambut cowok Anime.

“Engga, udah ayo cepetan! Tadi katanya laper?” Jawab Nino sambil mengusap-ngusap rambutnya dengan kasar dan membuat beberapa tetes air mendarat di muka Nina.

“Aduh kak, kena muka gue nih!” Nina mengusap beberapa tetas air yang jatuh di mukanya dengan punggung telapak tangan kanannya.

“Maaf, gak sengaja. Udah cepet sini masuk! Bawel ya lu ternyata, Nin.” Ucap Nino sambil berjalan menuju pintu penumpang depan dan membukanya agar Nina bisa langsung masuk. Namun, di sisi lain, Nina hanya mendengus dan memutarkan bola matanya.

“Sebentar, gue beneran gak sreg liat rambut lu basah. Ikut gue dulu sini.” Nina menarik Nino, kemudian menutup pintu mobil yang telah dibuka tadi, dan berjalan menuju ruang tunggu tamu luar yang disediakan oleh pemilik kost di lantai satu.

“Duduk dulu di sini, ini kostan cewek jadi tamu-tamu yang cowok gak boleh masuk ke dalem. Gue ambilin hair dryer dulu, gak usah protes! Gue gak mau keliatan kayak jalan-jalan sama jamet. This is for my own dignity.” Nina memegang kedua pundak Nino yang letaknya lebih tinggi beberapa cm dari posisi mata Nina dan membuat gerakan mendorong ke bawah agar Nino duduk di bangku panjang yang tersedia di ruang itu.

“Astaga Layali, ribet banget sih!” Ucap Nino dengan suara sedikit naik karena Nina sudah berlari kecil lagi menuju kamarnya di lantai dua untuk mengambil hair dryer yang ia maksud. Tapi, disaat yang sama, tidak ada gerakan memberontak dari Nino. Lelaki itu malah sibuk memainkan ponselnya, entah melihat apa. Jemarinya bermain di atas layar ponsel tanpa tujuan. Beberapa kali Nino menampar mukanya yang ia sadari tersenyum seperti orang bodoh.

Gue gak boleh whipped, batin Nino.


“Udah sini cepet! Duduk deh sekarang.” Nina menarik ujung baju Nino dan memintanya untuk duduk di bangku yang lebih dekat dengan stopkontak agar hairdryer miliknya bisa tersambung kealiran listrik.

“Sabar Nina, lu bawel banget aslinya.”

“Besok-besok kalo mau jalan jangan kayak jamet gini.”

“Gue gak jamet, enak aja! ADUH SAKIT!”

“Gue gak kasar-kasar banget kayaknya,” Sekarang tangan Nina berada persis di atas kepala Nino. Jemarinya memasuki sela-sela rambut Nino dengan lihai seperti hair stylist handal.

“Nin, panas banget! Ini bukan program ngapus ingatan, kan? Nin, gue gak bakal lupa parfum 2 juta gue ilang gara-gara lu!”

“Engga lah anjir! Lu mau gue bikin lupa ingatan beneran? Bisa sih, tapi kasian ah, bentar lagi mau skripsian kan?” Tutur Nina sambil tertawa dengan tetap mengeringkan dan menggosok-gosok rambut Nino.

Tanpa Nina sadari, empunya tubuh yang membelakanginya sekarang sudah mengukir senyuman dari ujung ke ujung. Tangannya menyilang di depan dada sambil beberapa kali mengusap wajahnya yang sudah merah tomat.

“Kak, udah nih! Bilang apa lu sama gue?” Ucap Nina selang beberapa menit berlalu sambil mematikan hairdyer di tangan kanannya.

“Makasih, Princess!” Jawab Nino dengan nada meledek sambil bangun dari duduknya dan mengacak-acak ujung kepala Nina. “Gak usah baper, kita impas!” Lanjut Nino sambil merapihkan ujung bajunya yang sedikit terlipat kusut.

Tak ada jawaban dari Nina, ia hanya memutarkan kedua bola matanya menanggapi panggilan princess Nino untuk yang ketiga kalinya.

Badan Nino sekarang berada tepat di depan tubuh Nina. Tanpa basa-basi, Nino menarik slim bag hitam Nina dan membuat perempuan itu mau tidak mau mengikutinya dari belakang.

“Bentar dulu, ini hair dryernya belum dicabut!”

Nina berhenti dan kembali ke tempat di mana tadi ia mengeringkan rambut Nino. Kini hanya punggung Nina yang membelakangi Nino, lucu batin Nino.

Sekarang mereka berdua berjalan menuju mobil yang sudah terparkir di depan gerbang tadi. Sama halnya seperti beberapa menit yang lalu, Nino dengan inisiatif membuka pintu penumpang depan dan memersilakan Nina untuk masuk.

That Saturday, No more 'perfume based' or thick line between the two, They were just enjoying their moments without actually understanding what might lead them to.

Nino berjalan menuju gate keluar setelah berpisah dengan Jule dan Hadya yang ada 'kegiatan' masing-masing. Tanpa waktu panjang Nino bisa menemukan Nina yang sedang berdiri persis di pintu keluar, namun kali ini dengan gaya rambut cepol.

“Halo. Sorry, ini Nina kan? gue mau ambil parfum.” Nino hanya ingin memastikan bahwa orang yang ia ajak bicara sekarang adalah benar Nina.

“Eh? Oh, iya kak. Ikut saya aja ke atas. Parfumenya tadi nyampur sama barang sitaan lain.” Ajak Nina sambil menunjuk satu pintu di lantai dua yang bertuliskan 'Resticted Area Staff Only'. Tanpa banyak bicara Nino mengikuti Nina dari belakang menuju lantai dua. Keduanya menaiki eskalator yang sempat jadi momen awkward mereka karena satu sama lain mempersilakan untuk naik lebih duluan.

“Bentar ya kak. Saya masuk dulu ke dalem.” Ucap Nina kepada Nino saat ia sudah sampai ke tempat tujuan.

5 Menit berlalu, Nina masih belum juga keluar dari dalam ruangan staf tersebut. Nino sempat berniat untuk membuka pintu tersebut, takut bahwa terjadi sesuatu kepada Nina di dalam.

Disaat Nino memegang knop pintu, dari arah yang berlawanan Nina membuka pintu dengan muka panik.

“Kak, sebentar. Ini parfumnya tiba-tiba ilang, padahal udah saya taro tadi di box yang warna biru.” Kata Nina sambil menunjuk sebuah kardus berwarna biru yang ada di dalam ruang staf.

Nino masih terdiam, terlebih lagi ia teringat omongan Hadya yang sempat mendoakan parfumnya hilang. Rasanya setelah ini Nino tidak akan berhenti memaki Hadya karena doanya yang ngaco itu.

Waktu menunjukkan pukul 1 pagi. Acara festival memang selesai satu jam lebih lama dari rundown yang ada karena beberapa kendala teknis. Cukup lelah setelah berdiri lama dan jingkrak-jingkrak selama acara festival, Nino dengan mudah menyerah untuk menunggu parfumnya.

“Oh, it's okay, kan awalnya emang harus disita juga. Gue balik aja, temen gue udah nunggu di bawah lama juga.” Ucap Nino yang kemudian langsung berbalik badan berjalan menuju eskalator turun tanpa membiarkan Nina membalasnya.

“Eh, kok pergi? KAK BENTAR DULU! ITU PARFUM MAHAL, SAYA NGERASA BERSALAH. KAK WOY EH PERGI BENERAN ORANGNYA. WOY MARKIANO ASTAGA!” Teriak Nina sambil berjalan mengikut Nino dari belakang yang sama sekali tidak digubris Nino.

Sekarang Nina sedang berdiri dekat tembok eskalator. Ia berpikir bagaimana bisa orang ini terlihat masa bodoh dengan parfum jutaannya yang hilang.

“Aduh, mampus deh gue.” Nina mengusap kasar muka dan mengacak-ngacak rambutnya yang diikat cepol sambil beberapa kali membenturkan kepalanya ke tembok.

Ia menuruni eskalator penuh dengan ribuan skenario yang dia anggap berpotensi terjadi setelah ini, seperti mungkin Nino akan membuatnya viral atau gosip miring akan disebar Nino di kampus nanti.

To you, My silly Where I never realized it lead to what 'Us' now.

“Lu anjing banget, Jul. Gue malu banget!” Kata Nino sambil menepuk pundak Jule dengan keras, yang dibalas dengan ketawa renyah Jule dan Hadya setelah kejadian 'Nino Meong' yang membuatnya malu sampai ke nadi.

Nino, Jule, dan Hadya masih berada di sekitar loket penukaran tiket. Puluhan pasang mata juga masih memperhatikannya karena kejadian yang baru saja terjadi tadi.

“Ini kita ngapain masih di sini?” tanya Nino sambil berdecak pinggang setelah ia merasa jenuh terus-terusan berdiri di tempat yang sama tanpa alasan yang jelas. Jule pun masih sibuk memainkan ponselnya, seperti sedang menunggu sebuah pesan. Berbeda dengan Hadya yang sibuk terus memperhatikan ramainya orang-orang yang datang dengan kekasihnya, tapi kalau dilihat ke samping kanan dan kirinya, Hadya bersama Nino dan Jule lagi dan lagi dan ia hanya bisa mendengus. Banyak teman kuliah mereka yang berasumsi jika Hadya, Jule, dan Nino memutuskan untuk jomblo seumur hidup karena ketiganya terlalu senang bersama-sama bukanlah sebuah hal yang mengejutkan.

Jule menutup ponsel yang ia genggam, “Ayo deh masuk! Sorry tadi gue kira tadi Bang Yasa jadi mau ikut kita.” Jelas Jule yang kemudian menggandeng tangan Nino sebagai ajakan pergi dari tempat sambil melemparkan senyum genitnya. “Apa, sih? Gak usah pegang-pegang gue.” Untuk kesekian kalinya Jule membuat Nino jengkel hari itu.

Jalan menuju pintu masuk venue tidak terlalu jauh dari loket penukaran tiket. Suasana ICE BSD hari itu juga sangat cerah disambangi angin sore hari yang 'anak muda nongkrong' banget. Tiga sekawan itu berjalan menuju antrian yang terlihat sudah lumayan panjang. Memang ada baiknya untuk datang lebih awal daripada mengantre panjang karena setiap penonton harus mengikuti body checking sebagai syarat masuk untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Di sisi lain terlihat rambut indah hitam pekat Nina dengan highlight warna biru, merah, dan pink palsu yang ia temukan di gudang waktu lampau. Nina terlihat mencolok dan menyita perhatian banyak pasang mata hari itu. Tubuhnya yang jangkung, tinggi 165 cm membuat Nina mudah disadari kehadirannya seperti yang terjadi sekarang dengan Jule yang sibuk menunjuk-nunjuk dan menjelaskan siapa Nina ke Nino dan Hadya.

“Liat gak cewek yang tinggi rambut ayam?” Kata Jule sambil menyila kedua tangannya di depan dada.

“Rambut ayam gimana sih, Jul?” Tanya Hadya sambil menggelengkan kepala karena kelakuan sahabatnya yang tidak pernah normal.

“Maksud gue itu, yang rambutnya warna-warni kayak anak ayam yang dijual depan sekolah waktu SD. Kata Darwis dia adeknya Kak Tara, Gintara Layali, yang dulu kebanggaan jurusan karena lombanya sana-sini, Internasional lagi.” Penjelasan Jule sedikit membuat Nino terkejut karena ia tidak asing dengan nama Gintara Layali, secara Kak Tara pernah menjadi pelatih debatnya beberapa kali saat semester 1.

“Oh? Seriusan lu, Jul? Gue kok kayak jarang liat dia di kampus, anaknya kayak jarang ikut event internal Sasing deh.” Hadya berbicara sambil bergerak maju karena sudah gilirannya Body Checking. Giliran Hadya dan Jule baik-baik saja walau rokok sebatang Hadya harus diambil panitia karena peraturan yang tertulis dalam pdf 32 halaman itu.

Nino maju sambil mengangkat tas tidak terlalu besar yang ia jinjing dan memberikannya ke salah satu panitia yang bertugas saat itu, Cikal.

“Kak, maaf, ini parfumnya gak boleh dibawa masuk. Kita udah post peraturannya di Instagram dari senin kemarin.” Ucap Cikal yang membuat mata Nino membelalak dan melirik Hadya dan Jule yang sudah masuk terlebih dahulu. Hatinya sedikit jengkel mendengar perkataan Cikal mengingat baru kurang dari 24 jam parfum ini menjadi miliknya.

“Terus gue apaing dong? Mau disita?” Tanya Nino dengan nada datar sambil melirik Jule dan Hadya lagi.

“Sebentar ya kak, saya panggil temen dulu yang lebih punya wewenang.” Cikal meninggalkan gate yang ia jaga dan berjalan menuju Nina yang kebetulan sedang bertukar shift dengan Naura.

“Nin, itu ada yang bawa parfum Dior, diambil juga? Gue gak tega anjir, mana masih penuh.” Tanpa balasan, Nina langsung berjalan menuju gate yang Cikal jaga. Melewati Hadya dan Jule awalnya sibuk bermain lempar tatapan dengan Nino yang sudah terlihat melas menjadi terkesima dengan aura Nina yang 'sadis'.

“Kamu yang bawa parfum?” Tanya Nina kepada Nino yang sedang berdiri sangat tegap dan tak berkedip sekalipun.

“Iya.” Jawab Nino singkat. Kedua bola matanya masih tidak bisa lepas dari wajah Nina, tanpa disadari ia menelusuri wajah Nina yang untuknya sempurna.

“Saya ambil dulu ya kak, ini parfumnya mahal jadi sayang kalo disita. Sebenernya gak boleh tapi yaudah gak papa, nanti ambil aja pas mau pulang. Saya standby di pintu keluar juga. Atas nama siapa?” Nina menggigit tutup spidol permanen yang ia ambil dari sakunya dan siap untuk menuliskan nama empunya parfum itu.

“Markiano Iskandar.” Nina terdiam sebentar dan tiba-tiba teringat percakapannya dengan Arel dan Icha beberapa belas menit lalu. Sedikit tertoreh senyuman kecil meningat kata 'Nino Meong'.

“Oke! Saya izin ambil parfumnya ya kak.” Ucap Nina sambil memberikan jempol kepada Cikal sebagai isyarat bahwa semua baik-baik saja dan meninggalkan gate yang Cikal jaga.

“Iya…” Suara Nino terdengar sangat kecil saat itu. Jule dan Hadya pun langsung melirik satu sama lain seperti mereka tahu yang Nino pikirkan.

Sial, cantik banget, batin Nino.

Nino berjalan melewati Cikal dan disambut Jule dan Hadya dengan ketawa mengejek mereka.

“Serem juga lu, naksirnya langsung sama adek Gintara Layali. Ini lu ceritanya lagi cinta pada pandangan pertama, nih?” Hadya berbicara sambil melewati kerumunan orang yang hanya dibalas geplakan keras di bahu oleh Nino.